mother, depressed, homeless-3477164.jpg

Hak-hak Seorang Istri yang Menggugat Cerai Suami

Dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan mengenai tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagi dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun tak bisa dipungkiri dalam perjalanan kehidupan berumah tangga terkadang banyak masalah yang timbul sehingga tujuan perkawinan seperti yang diamatkan oleh UU Perkawinan tidak dapat tercapai sehingga tidak sedikit pasangan suami dan istri yang memutuskan untuk bercerai.

             Perceraian dapat dimohonkan oleh suami dan juga dapat dimohonkan oleh istri. Perceraian yang dimohonkan oleh suami disebut permohonan cerai talak dan permohonan cerai yang dimohonkan istri disebut gugat cerai.

             Gugatan cerai yang diajukan suami maupun istri tentunya memiliki resiko hukum yang berbeda, terutama dalam hal hak dan kewajibannya. Dalam artikel ini kami akan membahas mengenai hak – hak seorang istri yang menggugat cerai suaminya. Pasca perceraian hak dan kewajiban apa oleh  seorang istri apabila ia menggugat cerai suaminya ? Apakah seorang istri akan mendapatkan hak yang sama seperti halnya jika suami yang mengajukan permohonan cerai talak, yaitu : nafkah Madhiyah, nafkah iddah, dan nafkah mut’ah.

             Dalam hukum Perkawinan di Indonesia mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga KHI ( Kompilasi Hukum Islam) , dalam peraturan tersebut tidak disebutkan secara terperinci mengenai hak seorang istri yang menggugat cerai suaminya , tetapi dalam Pasal 152 KHI disebutkan bahwa hak istri setelah terjadi gugatan perceraian adalah mendapatkan nafkah iddah sepanjang istri tidak nuzyus.

             Dalam pasal 84 ayat (1) dijelaskan mengenai pengertian dari nuzyus adalah ” Istri dapat dianggap nusyuz jika tidak mau melaksanakan kewajiban utama sebagai seorang istri, yaitu berbakti lahir dan batin kepada suaminya didalam batas – batas yang dibenarkan oleh hukum islam.

             Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 dijelaskan bahwa dalam hal nafkah Madhiyah, nafkah iddah, nafkah mut’ah dan nafkah anak

” Hakim dalam menetapkan nafkah Madhiyah, nafkah iddah, nafkah mut’ah dan nafkah anak harus mempertimbangkan rasa keadilan dan rasa kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta dasar hidup istri dan atau anak”.

“Kewajiban suami akibat perceraian yang tidak nusyuz, mengakomodir Perma Nomor 3 Tahun 2017 , maka istri dalam perkara gugat cerai maka istri bisa mendapatkan nafkah iddah dan mu’ah sepanjang tidak terbukti nuzyus”.

             Berdasarkan hal tersebut diatas apabila istri mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya maka sepanjang dia tidak nusyus maka ia berhak atas nafkah iddah dan mu’ah . meskipun sudah ada ketentuannya tetapi tentu saja hal tersebut tidaklah mutlak , tetapi bersifat kasuistis , tergantung dengan alasan dan kondisi – kondisi yang terjadi, termasuk didalamnya kemampuan suami secara ekonomi.

             Mengajukan gugatan cerai di Pengadilan terkadang memang tidak semudah jika kita ingin mengurus proses administrasi dalam mengurus persyaratan pernikahan, karena proses perceraian memiliki tingkat kerumitan tersendiri.

             Kerumitan itulah yang membuat seseorang memilih untuk menggugakan jasa pengacara dalam menjalankan proses perceraiannya. Kami di R.A.P Law Office memiliki tim advoakat yang handal dan berpengalaman dalam mengurus perkara perceraian baik itu gugatan cerai maupun permohonan cerai talak.

Apabila ingin berkonsultasi langsung seputar perceraian dapat langsung menghubungi R.A.P Law office . Kami memiliki Advokat – Advokat handal dibidang perceraian.


Penulis:

Rizal Bagus Putranto, S.H (Managing Partners di R.A.P Law Office)

Komentar

Berikan komentar untuk artikel/berita ini. Data yang anda kirimkan tidak akan disebarluaskan
Scroll to Top
Hubungi Kami via Whatsapp