Banyak pertanyaan kepada kami tentang bagaimana pembuktian terhadap perjanjian yang dibuat secara tertulis ? Atas banyaknya pertanyaan yang muncul tersebut kali ini kami dari R.A.P Law Office akan menjelaskan secara rinci mengenai hal tersebut.
Dalam hukum perdata kita dikenal adanya 5 macam alat bukti, sebagaimana yang diaatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata , yaitu ;
- Bukti Tertulis
- Saksi
- Persangkaan
- Pengakuan
- Sumpah
Dalam pasal 1320 KUH Perdata, diatur mengenai syarat sah perjanjian , yaitu :
- Adanya kesepakatan
- Kecakapan para pihak
- Adanya hal tertentu, dan
- Kausa yang halal
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut , tidak ada satu pun yang menyataakan bahwa perjanjian haruslah dibuat secara tertulis, sehingga perjanjian yang dibuat secara lisan pun adalah perjanjian yang sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya, (asas pacta sun servanda) , sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, meskipun ada beberapa jenis perjanjian yang diatur harus dengan perjanjian tertulis, seperti :
- Perjanjian hibah yang harus dibuat dengan akta otentik dalam akta notaris
- Perjanjian pemberian kuasa pemasangan hipotek atas kapal harus dengan akta otentik dalam akta notaris
- Perjanjian pengalihan piutang yang dijamin dengan hipotik harus dibuat secara tertulis dengan akta notaris
- Perjanjian subrograsi harus dalam bentuk perjanjian tertulis dalam akta notaris
- Perjanjian tertulis ( khususnya jual beli dan hibah ) hak atas tanah ,hak atas satuan rumah susun kecuali melalui lelang, untuk tanah – tanah yang sudah terdaftar harus dibuat melalui akta pejabat pembuat akta tanah
- Perjanjian pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun harus dengan perjanjian tertulis dan dalam akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
- Perjanjian pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan harus dengan akta notaris
- Perjanjian jaminan Hak Tanggungan dan Fidusia harus dengan akta notaris
- Pendirian pendirian Perseroan Terbatas (PT), yayasan, koperasi, firma harus dengan akta notaris
Selain perjanjian – perjanjian yang diharuskan dibuat tertulis tersebut maka boleh suatu perjanjian dibuat secara tidak tertulis
Akan tetapi dalam suatu proses pembuktian suatu perkara perdata, alat bukti yang utama adalah merupakan alat bukti surat , karena dalam suatu hubungan kepeedataan , suatu surat / akta memang dibuat dengan tujuan untuk memudahkan proses pembuktian apabila dikemudian hari terdapat sengketa.
Dalam hal suatu perjanjian dibuat secara lisan , maka sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata maka kita dapat menggunakan saksi yang dapat menerangkan secara gamblang / jelas tentang adanya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan.
Berbicara mengenai alat bukti saksi maka haruslah ada lebih dari satu orang saksi yang mana memiliki keterangan / kesaksian yang saling berkesesuaian. Dalam pembuktian melalui saksi , dalam hukum dikenal asas unus testis nullus testis, yang artinya bahwa satu orang saja saksi tidak cukup untuk melakukan pembuktian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1905 KUH Perdata :
” Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, maka dimuka pengadilan tidak dapat dipercaya.”
Menurut Yahya Harahap , adanya satu orang saksi saja tidak memenuhi batas minimal pembuktian, sehingga agar sah sebagai alat bukti , maka harus ditambah dengan alat bukti yang lain. Sedangkan dalam alat bukti persangkaan, pengakuan dan sumpah memerlukan keterlibatan pihak tergugat yang dapat dimungkinkan tergugat memberikan keterangan bohong sehingga melemahkan posisi tergugat.
Demikian penjelasan mengenai pembuktian dalam perjanjian yang dibuat secara lisan semoga dapat menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bermanfaat, apabila ingin berkonsultasi secara lebih mendalam seputar perjanjian atau permasalahan hukum yang lain dapat menghubungi kami secara langsung.
Penulis:
Rizal Bagus Putranto, S.H (Managing Partners di R.A.P Law Office)